Bandung,Bandung Tengah- PKL (pedagang kaki lima) masih merupakan masalah yang pelik bagi kota besar. Sering kali kita lihat Razia Satpol PP (Satuan Polisi Pamong Praja) sudah menjadi wajah kota Bandung,betapa tidak kawasan 7 titik yang menjadi Prioritas wilayah yang harus bersih dari PKL (Pedagang Kaki Lima) hanya menjadi peraturan di atas kertas saja, merekapun menjadi bulan-bulanan oleh aparat. Entah siapa yang harus disalah kan , tapi yang pasti PERDA No. 11 tahun 2005, memuat mengenai K3 ( Ketertiban, Kebersihan, dan Keindahan ) ini perlu dibuat, untuk mengatur segala sesuatu tentang tata masyarakat kota berikut struktur nya.
Mengenai pedagang, nampaknya peraturan tersebut dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya berjalan dengan baik. Adanya segelintir Oknum dari pihak Pemerintah Daerah berikut jajarannya dalam pelaksanaan di lapangan, menjadi nada sumbang di antara para PKL sendiri, seperti adanya pungutan dari oknum kepada PKL supaya tetap bisa berdagang/berjualan di area yang dilarang. Perilaku seperti inilah yang bisa merusak wibawa Pemeritah terutama bisa merembet ke Badan Legislatif sebagai pembuat kebijakan, dan Eksekutif sebagai aparatur pelaksana.
Pasal 49 ayat 1 bb “ berusaha atau berdagang di trotoar, jalan/bahu jalan, taman, jalur hijau dan tempat-tempat lain yang bukan peruntukan nya tanpa meminta ijin dari walikota dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hukum sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah) atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan Kartu Identitas Kependudukan lainnya.
Pasal 49 ayat 1 jj “ Mendirikan kios dan/atau berjualan di trotoar, taman, jalur hijau: melakukan kegiatan yang dapat mengakibatkan kerusakan kelengkapan taman, atau jalur hijau dikenakan pembebanan biaya paksaan penegakan hokum sebesar Rp. 1.000.000,00 (satu juta rupiah), atau sanksi administrasi berupa penahanan untuk sementara waktu KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan Kartu Identitas Kependudukan lainnya.
Kedua Pasal ini lah yang sampai saat ini menjadikan Pro dan kontra dikalangan masyarakat, pedagang, dan Pemerintah. Selain itu adanya nada kritis dari mereka, bisa jadi kritik sosial yang membangun untuk memperbaiki kinerja jajaran Pemerintah Daerah dalam mengupayakan Bandung yang tertib, bersih dan indah. Seperti Hadi (31th) penjual hewan peliharaan yang biasa berjualan di halaman Mall BIP, ketika ditanya soal Perda K3, “Pemerintah kurang mengupayakan relokasi yang bisa menguntungkan pihak pedagang, makanya kami tetap berjualan di sini, karena lokasi yang ramai dan strategis, selain itu pemilik Mall beserta para preman pun sempat menghadang kami, namun para penjual, tetap bertahan dari tahun 1989 sampai sekarang dan menghiraukan ancaman tersebut” ujar nya.
Sama halnya dengan Rachmat (48th) dan Bambang (42th) penjual bubur bersaudara asal Majalaya ini, sudah 22 tahun berjualan di trotoar Jln. Merdeka, mereka biasa berjualan sore hari sampei jam 9 malam, ketika ditanya tanggapan nya soal Perda, mereka berharap Pemda bisa merelokasi kami ke tempat yang bisa menghidupkan suasana berdagangnya. Meskipun roda tempat mereka berjualan sempat diangkut oleh Satpol PP, tak membuat kapok Karena dalam 1 minggu kemudian mereka dapat mengambil kembali barang mereka dengan uang tebusan 45ribu hingga 75ribu melalui pihak pengadilan.
Tim Liputan pun sempat bertanya-tanya pada pengunjung / pembeli yang kebetulan ada di sana, sebut saja Naning (24th) wanita asal Jakarta ini, mengatakan
“ PKL sejak saya hijrah Ke Bandung untuk studi, nampaknya sudah menjadi bagian dari Kota ini, kita tidak dapat menutup mata tentang keberadaan mereka, demi mencari sesuap nasi untuk menyambung hidup, ya jadi sulit untuk diberantas” ungkap nya. Ketika ditanya soal PERDA, mahasiswa Fakultas Ekonomi jurusan Managemen 2002 ini mengatakan, konsistensi dari pemerintah dan aparatur pelaksana peraturan menjadi kunci keberhasilan Perda K3, di tempat terpisah di bilangan Merdeka Dewi (30th) karyawati Show Room, menanggapi hal berbeda soal PKL, “ Keberadaan PKL seperti pedagang aksesoris dan penjual minuman, sangat menggangu, karena memakan bahu jalan yang bisa berakibat kemacetan juga kecelakaan. Ketika ditanya tanggapan nya soal Perda K3, kritikan dari nya hanya satu Konsisten dalam membuat dan melaksanakan Perda K3.
Lain halnya dengan pendapat Bang Pristone sebutan akrab dikalangan pedagang dan merupakan Pembina dari paguyuban Pedagang Jasa Tradisional Dago (PPJTD) mengatakan Perda di Bandung Lebih banyak Symbol, Retrorika serta Slogan. Disamping itu 3 Terminologi K3 perlu penelaahan yang jelas mengenai termagtub didalamnya,Supaya semua sector tersentuh karena kalimat itu sangat abstrak. Dan disamping itu Perda yang ada terkesan tidak berpihak pada kaum bawah, dalam hal ini terlihat banyaknya tempat-tempat pihak swasta atau para kaum berduit dengan bebasnya berdiri dan terkesan tidak teratur. “Harapan dari pihak Pedagang itu sendiri agar pemerintah dapat melakukan komunikasi secara dua arah dan meninjau kembali apa yang terkaji dalam Perda tersebut kemudian dalam penindakannya pun harus jelas jangan terkesan setengah hati, dan yang terpenting pemerintah dapat merealisasikan tempat yang layak,murah,dan memiliki nilai ekonomis bagi para pedagang” ujarnya.(Devi,Ivan,Ahmad,Bambang)